Jumat, 11 Maret 2011

Rahasia di balik rahasia

Saya terkesan dengan statement ustadz gaul, UJE, bahwa salah satu tanda ketidakikhlasan seseorang adalah orang yang mengatakan “Saya ikhlas”. Mungkin sebagian dari anda menentang atau mengiyakan. Yang manakah anda? Tapi terlepas dari itu semua kita juga harus menyadari bahwa hati manusia itu rapuh. Apalagi saat musim kering iman, pasti mudah berkonspirasi dengan setan.

Ikhlas adalah hal abstrak, tak kasat mata namun terasa. Ingatkah kita penderitaan nabi Ayub as yang ditimpa penyakit yang menjijikkan? Atau ingatkah kita tentang bilal yang disiksa demi membela agama? Landasan sifat ikhlas dalam hati para kekasih Allah itulah yang meninggikan derajat mereka. Nabi Ayub masuk surge dengan titla “hamba yang elok” sedangkan bilal belum masuk surga saja terompahnya sudah terdengar di surga. Mereka adalah kekasih Allah yang Ikhlas menerima ujian ketaatan dan ujian kehidupan. Dan inti dari keikhlasan itu sendiri adalah iman.

Mario Teguh berkata, “saya dan Tuhan itu cukup”. Saya mengambil kesimpulan bahwa, Allah adalah dzat yang tidak akan pernah bisa kita lepaskan dalam hidup kita. Hakekat hidup ini simple, lil ‘ibadallah, untuk beribadah kepada Allah. Meski terdengar mudah tapi sulit dalam realisasi. Karena hizbussyaithon pasti akan menghalangi kita mencapai misi suci yaitu ridho Ilahi. Maka dari itu, suburkan iman dengan pupuk ilmu dan dzikrullah, Insya Allah akan membuahkan amal sholeh yang akan kita nikmati manisnya hingga di akhirat.

Ikhlas adalah konsekuensi keimanan. Menjadi pribadi yang mukhlis itu luar biasa susah karena itu masalah hati. Yang mana hati manusia sejatinya hanya diketahui oleh Allah dan pemilik hati itu sendiri.

Ikhlas itu tidak terbatas dalam hal urusan kita dengan sang Robbul Izzati saja. Dalam bermuamalah(hubungan dengan orang lain) pun kita disunnahkan untuk ikhlas, senyum dengan ikhlas,membantu teman dengan ikhlas. Semua itu karena sang Uswah hasanah kita, Nabi Muhammad, yang mencontohkannya. Mari sama-sama kita permak niat yang ada dalam hati kita. Maksud terselubung dalam hati yang ditunggangi setan harus kita luluhlantahkan dengan mengingat kembali siapa kita. Pantaskah kita sombong padahal kita tidak ada apa-apanya? Cukup Allah-lah yang berhak sombong.