Senin, 16 Juni 2008

MY OPINION

STOP JAMU KIMIA, CINTAI JAMU TRADISONAL


Jamu yang seyogyanya merupakan ramuan tradisional yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan alami, kini dalam pengolahannya ada yang dicampur dengan bahan-bahan kimia (sintetis) bahkan obat keras. Sebagai negara agrais, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati nomor 2 di dunia setelah Brasil. Dengan kekayaan lebih dari 40.000 jenis tanaman dimana 2.000 diantaranya terbukti memiliki khasiat untuk kesehatan, produk ramuan tradisional (jamu) Indonesia berpotensi digunakan sebagai produk pengobatan masyarakat dunia. Tapi, mengapa dengan kekayaan yang begitu melimpah ruwah masih ada saja produsen jamu yang menggunakan bahan-bahan kimia?
Menurut BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), jamu haruslah berbahan tumbuh-tumbuhan alami, tanpa dicampur dengan zat-zat sintetis atau kimia. Namun secara kreatif beberapa pengusaha atau perajin jamu mencampurnya dengan bahan kimia obat. Obat kimia digerus halus kemudian dicampur dengan bahan-bahan jamu tradisional. Mengkonsumsinya sama saja mengkonsumsi obat tanpa dosis dan takaran. Hal inilah yang menyebabkan khasiatnya langsung terasa. Misalnya saja ketika menderita sakit demam meminum jamu kimia yang mengandung parasetamol atau saat kecapekan mengkonsumsi jamu kimia yang dicampur steroid, rasa letih langsung lenyap. Berbeda dengan jamu yang benar-benar jamu artinya jamu yang berbahan tumbuh-tumbuhan alami tanpa campuran zat sintetis atau kimia dampaknya tidak seketika atau baru terasa setelah mengkonsumsi beberapa kali. Tidak dapat dipungkiri lagi, saat ini masyarakat atau konsumen nampaknya lebih memilih jamu kimia ketimbang jamu tradisional. Penyebabnya tak lain adalah cara penyajian yang instan dan instan pula dalam menyembuhkan rasa sakit atau sering disebut cespleng. Selain itu, banyak diantara konsumen yang belum mengetahui dampak negatif bagi kesehatan mereka dan rendahnya kesadaran masyarakat akan kesehatan membuat mereka tak peduli terhadap keberadaan jamu kimia meski dibalik itu memiliki efek negatif.
Jamu kimia memang khasiatnya langsung terasa (cespleng) namun banyak orang yang belum tahu bahwa dalam jangka waktu panjang jamu kimia berpotensi menyebabkan berbagai penyakit yang menyerang organ vital seperti ginjal, hati dan jantung. Penambahan bahan kimia obat dalam produk jamu tradisional tidak dilakukan sesuai dosis terapi bahkan kebanyakan bahan kimia yang menjadi campuran adalah yang telah kadaluwarsa, inilah yang bisa menyebabkan kerusakan organ-organ dalam manusia dan apabila terus menerus mengkonsumsinya dapat menyebabkan kematian. Biasanya, orang-orang yang sering mengkonsumsi jamu kimia tercermin dari tampilan fisiknya seperti wajah membengkak dan bulat (moonface). Barangkali para pengusaha atau perajin jamu kimia mengetahui dampak-dampak negatif tersebut, tetapi pertimbangan ekonomi yakni keuntungan yang besar dan menggiurkan mengalahkan akal sehat serta sisi-sisi kemanusiaannya.
Saat ini, peredaran jamu kimia memang bak jamur di musim penghujan. Peredarannya merajalela diseluruh pelosok tanah air bahkan sudah merambah sampai negara-negara kawasan Asia Tenggara. BPOM yang bertanggungjawab dalam pengawasan dan peredaran obat dan makanan di Indonesia nampaknya kedodoran dan kewalahan dalam menangani masalah peredaran jamu kimia ini. Walaupun mereka sebenarnya telah melakukan hal yang positif dengan menarik dan melarang peredaran 54 item produk obat tradisional (jamu) yang berdasarkan pengujian laboratorium terbukti mengandung bahan kimia obat keras (BKO) yang sangat berbahaya bagi tubuh. Diantara jamu-jamu yang ditarik itu ada jamu pegal linu, pelangsing sampai jamu perkasa. Obat-obat tradisional itu mengandung bahan kimia obat keras seperti sibutramin hidroklorida, sidenafil sitrat, sproheptadin, fenil butason, asam mefenamat, prednison, metampiron, teofilin dan parasetamol. Menurut ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPPKI), Marius Widjadjarta,” Penarikan dan pemusnahan jamu kimia sangat positif namun langkah itu masih sebatas popularitas semata karena tidak diikuti dengan pengawasan yang maksimal. Persoalan mendasar sampai sekarang tidak pernah ada transparansi pengawasan dan evaluasi distribusi obat dan makanan yang beredar selain itu, struktur pengawasannya juga kacau. Lemahnya kontrol terjadi karena fungsi pengawasan dan registrasi selama ini dirangkap oleh badan POM. Supaya kerja badan POM efektif maka pengawasan dan registrasi harus dipisah pada instansi tersendiri agar hak konsumen untuk memperoleh informasi yang jelas, benar dan jujur serta hak untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan terjamin. Tidak mungkin satu badan mempunyai fungsi yang bersamaan sebagai pemberi registrasi, pengawasan, sekaligus mencabut produk.”
Kegiatan membuat jamu kimia sudah selayaknya ditindak tegas karena hal itu termasuk pembohongan publik karena berdasarkan uji BPOM, komposisi bahan baku yang tertera di kemasan tidak sesuai dengan isinya. Bagi produsen jamu kimia yang tertangkap layak di hukum seberatnya-beratnya agar menimbulkan efek jera sehingga tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Kegiatan memproduksi dan atau mengedarkan obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat merupakan pelanggaran UU no 32 tahun 1992 tentang kesehatan dan diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama lima tahun serta denda paling banyak 100 juta. Aktivitas tersebut juga merupakan pelanggaran UU no 8 tentang perlindungan konsumen dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak 2 milyar. Namun saat ini penegakan hukum tersebut belum berjalan sepenuhnya karena belum adanya campur tangan dari pihak kepolisian dan kejaksaan. Jika BPOM mampu menjalin kerja sama yang baik dengan pihak kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan kasus ini, maka peredaran jamu kimia mungkin bisa terberantas sampai keakar-akarnya.
Selain membahayakan kesehatan konsumen ternyata jamu kimia juga mengancam kelangsungan hidup pengusaha jamu tradisional. Jamu tradisional yang notabane adalah budaya dari nenek moyang bisa tergilas begitu cepat dengan adanya jamu-jamu kimia tersebut. Keresahan ini juga dirasakan oleh salah seorang penjual jamu tradisional yang bernama Suparmi. ”Saya cukup resah dengan adanya jamu-jamu kimia tapi saya sama sekali tidak tertarik untuk beralih menjadi penjual jamu kimia. Saya tetap mau meracik jamu tradisional sendiri dengan bahan-bahan yang pastinya 100% alami meskipun prosesnya rumit dan melelahkan karena saya tidak mau membuat pelanggan saya kecewa. Bahan-bahan jamu mudah didapat kok, jadi kenapa mesti pakai yang kimia, itu sama saja meracuni orang,”tegasnya. Penuturan dari penjual jamu tradisional tersebut memang patut dicontoh oleh para penjual jamu kimia, jangan hanya karena uang bisa menghalalkan berbagai cara.
Dengan kerjasama yang baik dari berbagai pihak baik Departemen Kesehatan, BPOM, Departemen Perdagangan maupun Aparat Penegak Hukum dalam melakukan pegawasan dan pembinaan secara optimal kepada industri jamu dan masyarakat luas tentunya jamu kimia tidak akan beredar lagi di tengah masyarakat. Apalagi jamu impor juga sedang menyerbu pasar Indonesia sehingga pemeriksaan mutu dan keamanan yang ketat sangat diperlukan guna melindungi konsumen dan pertumbuhan industri jamu dalam negeri.